Jumat, 08 Desember 2023

STUDI SASTRA LISAN

STUDI SASTRA LISAN

DALAM RANGKA SEMIOTIK SATRA

Oleh Edi Sutopo

1. Posisi Sastra Lisan dalam Kerangka Teori Sastra Umum

A

Teeuw dalam buku ini menjelaskan mengapa memasukan analisis sastra lisan dalam pembahasan tersendiri.

a. Dalam situasi komunikasi sastra ada perbedaan yang cukup menonjol antara sastra lisan dan sastra tulis; sastra tulis tidak memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dengan penikmat; berkat kemungkinan teknologi cetak mutakhir. Namun, perlu dipertanyakan apa efek semiotik dari situasi tersebut bagi pencipta dan penikmat?

b. Biasanya penelitian terhadap sastra lisan berbeda dengan sastra tulis. A Teeuw mempertanyakan apakah bisa bisa diintegrasikan dari segi teori dan pendekatan ilmiah antara sastra lisan dan tulis.

c. Posisi sastra lisan di Indonesia yang sangat kokoh dan terpelihara dengan baik. Pertanyaannya, apakah kerangka teori sastra sastra tulis dengan demikian dapat serta merta dipakai untuk sastra lisan, atau perlu teori sastra lisan tersendiri yang lebih khas?

d. Ada transposisi antara sastra lisan dan sastra tulis. Sastra tulis sering ditampilkan dalam wujud performing art, atau dibacakan di depan umum. Di sisi lain, sastra lisan juga telah dibukukan. Dengan demikian, untuk penelitian sastra tulis, pengetahuan tentang struktur dan fungsi sastra lisan amat diperlukan.

2. Minat untuk Sastra Lisan di Eropa

A

Teuuw menyebut minat yang besar dari bangsa Eropa terhadap penelitian sastra lisan mulai abad ke-18. Pada zaman itu muncul dari para pencinta sastra keinginan untuk mulai menemukan, mengumpulkan dan meneliti sastra lisan yang dianggap primitif, baik di Eropa sendiri maupun negeri-negeri yang jauh. Dan di sisi lain, penyair Barat sendiri mulai menciptakan karya yang meneladani sastra lisan yang primitif itu dalam wujud balad yang pada awal abad ke-19 amat populer.

Dalam hubungan itu, filsuf Jerman Johann Gottfried Herder (1744-1803) mencoba meletakkan dasar ilmiah baru untuk pendekatan terhadap sastra dengan tulisan mengenai asal-usul bahasa dan tulisan. Bagi Herder, asal-usul bahasa dan asal-usul puisi identik: manusia primitif, purba, mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar dirinya, dalam bentuk bunyi-bunyi yang secara spontan membayangkan impresi yang diterimanya itu.

Herder juga mengembangkan teori mengenai rakyat sebagai dasar kebudayaan yang sungguh-sungguh: berdasarkan bahasa yang sama setiap masyarakat bahasa, yang disebut Volk dalam bahasa Jerman, mempunyai semacam semangat, jenius bersama, dan semangat bangsa yang sekaligus menjadi rakyat itulah pula yang terungkap dalam sastra primitif, pratulis. Ide tentang kebersamaan masyarakat tergantikan oleh ide Herder tentang identitas bangsa dengan semangatnya, volksgeist. Volksgeist itu khususnya terungkap dalam puisi dan cerita rakyat lisan, dan justru bentuk sastra inilah yang dikumpulkan dan diterbitkan sebagai bentuk sastra yang hakiki dan sungguh-sunguh. Herder juga mengungkapkan awal mula semangat nasionalisme yang dalam abad ke-19 menjadi sangat populer di Eropa dan di Jerman pada awal abad ke-20.

3. Minat untuk Sastra Lisan di Indonesia; Sedikit Sejarahnya.

A

wal abad ke-19 adalah masa pengumpulan sastra lisan berkat kegiatan para penerjemah Kitab Injil yang sejak awal abad ke-19 diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga Alkitab Belanda dengan tugas utama menerjemahkan Kitab Injil dalam berbagai bahasa Nusantara, tetapi mereka selalu ditugaskan pula sebagai persiapan untuk tugas utama tersebut, untuk secarera ilmiah meneliti bahasa dan kesussatraan suku bangsa tempat mereka bekerja.

Kebanyakan peneliti Belanda dan asing yang meneliti sastra lisan Nusantara tadi besar sekali jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan sastra lisan, tetapi umumnya mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat; mereka lebih tertarik pada segi ilmu atau deskripsi bahasa, khususnya berkaitan dengan posisi mereka sebagai penerjemah Kitab Injil; sebab mereka melihat ada persamaan atau kesejajaran antara bahasa dalam sastra rakyat Indonesia dengan bahasa puisi Ibrani yang dipakai dalam Perjanjian Lama. Atau mereka lebih tertarik oleh aspek antropologi, khususnya antropologi keagamaan yang berkaitan dengan sastra rakyat, khususnya yang bersifat mitos. (Mitos sebagai pembayangan struktur sosial).

4. Perkembangan Penelitian Sastra Selanjutnya; Mazhab Finlandia

P

enyelidikan sastra lisan di Eropa awalnya didasari oleh minat terhadap ilmu kemanusiaan lebih khusus ilmu bahasa dan sastra yang berorientasi pada sejarah dan bandingan. Sastra rakyat Eropa dibandingkan dengan sastra rakyat di bagian dunia yang lain. Di sinilah mulai berkembang metode dan teori historik komparatif secara sistemik, terutama di Finlandia. Mazhab ini dengan keyakinan terhadap metodenya, berobsesi untuk menjangkau semua cerita rakyat di seluruh dunia. Masalah yang dihadapai ketika akan melakukan klasifikasi dan organisasi bahan adalah justru dari melimpahnya bahan baku. Mungkinkan melakukan klasifikasi dan penggolongan atasnya?

Pada praktiknya, mazhab ini memakai dua konsep yaitu type dan motif; jadi cerita digolongkan menurut tipenya; sedangkan motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dalam tradisi. Penelitian oleh mazhab Finlandia ini banyak sekali menghasilkan studi yang sangat menarik dan sangat memajukan pengetahuan tetapi pada saat yang sama juga mempunyai kelemahan. Praktiknya, penggolongan dalam tipe dan motif sangat sulit lagi pula kesimpulan mengenai tua-mudanya, dan asli tidaknya varian tertentu sukar dibuktikan.

Pertanyaan tentang di mana pendekatan mazhab historik-geografik harus ditempatkan dalam rangka model semiotik karya sastra, maka jawabnya jelas terletak pada minat utama yang terarah pada penciptaan, asal-usul cerita rakyat, sesuai dengan pendekatan sejarah yang umum berlaku dalam ilmu sastra sejak abad ke-19. Perbedaannya, umumnya penulis tidak diketahui, anonim. Dalam mazhab ini umumnya cerita rakyat tidak dilihat lagi sebagai tanda; makna karya sastra ini tidak menarik minat mereka, dan karya sastra dipecah-pecah dalam sejumlah motif tanpa fungsi dan makna.

5. Penelitian Propp mengenai Dongeng Rusia

P

endekatan yang dipakai mazhab historik-geografik mendapat kritik dari peneliti Rusia yang bernama Vladimir Propp. Dia berusaha untuk menemukan aturan yang menguasai atau menentukan susunan plot dalam sejumlah dongeng Rusia yang khas. Kritik Propp terhadap Mazhab Finlandia terutama menyangkut atomistik analitis tema dan motif. Propp tidak berusaha menjangkau seluruh cerita rakyat sedunia, tetapi berdasarkan seratus dongeng Rusia yang disebut fairy tales Propp berhasil menemukan hasil yang cukup mengejutkan, yaitu:

a. Anasir yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah tokoh atau motifnya melainkan fungsi, lepas dari siapa tokoh yang memenuhi fungsi tersebut.

b. Untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas

c. Urutan fungsi dalam sebuah dongeng selalu sama

d. Dari segi struktur semua dongeng mewakili hanya satu tipe saja.

Propp mendefinisikan fungsi sebagai “tindakan seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya”.

Sebagai contoh:

I seorang anggota meninggalkan rumah (entah siapa orangnya: orang tua, raja, adik, dan lain-lain)

II tokoh utama atau pahlawan terkena larangan atau pantangan tertentu (misalnya tidak boleh bicara lagi, tidak boleh meninggalkan rumah, tidak boleh memetik bunga atau buah tertentu dan seterusnya)

III tabu itu dilanggar.

Jadi Propp mengembangkan semacam skema yang selalu sama dan berlaku umum namun tidak berarti bahwa setiap dongeng harus memiliki semua fungsi; ada juga dongeng yang mempunyai fungsi terbatas daripada maksimal yang menurut Propp ada 31 fungsi.

Perlu disampaikan bahwa analisis dan tipologi struktural bagi Propp bukan tujuan utama dan akhir. Dia hanya ingin memanfaatkan tipologi struktural untuk penelitian historik pula; berdasarkan analisis struktur dasar, dia berharap dapat menentukan bentuk purba dongeng tersebut (meskipun telah berkembang ke berbagai arah, tokoh dan peristiwa yang bermacam-macam, tetapi mempertahankan kerangka struktur dan fungsi yang sama). Jadi Propp ingin menggabungkan metode struktural dengan penelitian genetik, penelusuran asal-usul dan penyebaran kemudian.

Penelitian Propp ini mendapatkan respon cukup bagus di Eropa, namun tetap ada tentangan keras terutama dari peneliti Belanda J.P. Guĕpin. Menurutnya, konsep fungsi menjadi ruwet tidak dapat dibuktikan benar tidaknya dan seleksi oleh peneliti tidak dapat dicek lagi kebenarannya. Jadi, Propp tidak berhasil sungguh-sungguh membuktikan tesisnya yang terdiri atas empat dalil seperti tersebut.

Namun, jasa Propp tetap besar terutama gagasannya tentang analisis struktural tentang naratif cerita rakyat dan cerita lain; dan dia merintis jalan untuk analisis semacam itu. Sejak itu, masalah analisis struktural sebagai masalah hakiki untuk penelitian cerita rakyat tidak dapat lagi dihindari. Namun, perlu perbaikan seperti metodenya harus diperhalus, konsepnya harus dipikrkan kembali, hasilnya harus dicek terus-menerus dan disesuaikan dengan penemuan baru.

6. Penelitian Puisi Lisan: Parry dan Lord

P

enelitian lain dalam studi sastra lisan menyangkut puisi rakyat, dan tidak kurang pentingnya dari segi metode penelitian dan konsep teori umum yang dihasilkan. Pendekatan yang disampaikan di sini diilhami oleh ilmu sastra klasik barat, khususnya puisi Homeros. Seorang ahli bahasa Yunani Milman Parry dalam tulisan tahun tiga puluhan mencoba membuktikan bahwa karya Homeros memang memanfaatkan dan menggali tradisi oral sezaman dan pada saat yang sama menciptakan karya sastranya secara keseluruhan yang utuh dan sempurna.

Parry menemukan bahwa Homeros sebagai seorang penyanyi memang memanfaatkan persediaan formula yang menjadi modalnya, yang siap pakai sesuai dengan persyaratan matra yang dimanfaatkan untuk eposnya. Misalnya dia selalu memanfaatkan epitheton (kata sifat atau klausa yang berfungsi kata sifat) untuk memerikan seseorang atau suatu benda, keadaan dan lain-lain.

Misalnya:

Odysseus biasanya disebut polutlas atau polumetis (yang banyak menderita/banyak akalnya.

Achilles disebut poodas ookus (cepat kaki)

Parry meneliti di Yugoslavia dan banyak menemui cukup banyak penyanyi epos rakyat. Di sana mereka meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita; meneliti teknik penciptaan epos rakyat dan cara tradisi ini diturunkan dari guru ke murid, dan mereka memberi perhatian pula pada resepsi karya sastra oleh masyarakat, yaitu audience yang menghadiri performance.

Beberapa kesimpulan penting dari penelitian Parry tentang epos Yugoslavia dapat disampaikan di sini:

a. Epos rakyat Yugoslavia oleh penyanyinya (guslar) tidak dihafalkan secara turun-temurun, tetapi setiap kali epos itu dibawakan teksnya diciptakan kembali secara spontan –dan dengan kecepatan yang sangat mengagumkan. Di dalam penciptaan itu teks disesuaikan dengan minat pendengar, keadaan pembawaannya, dan waktu yang disediakan.

b. Prestasi menciptakan karya yang panjang itu lebih mengherankan lagi kalau kita perhatikan bahwa skema matra yang harus dipakai cukup ketat, setiap larik harus terdiri atas sepuluh suku kata, dengan penggalan sesudah suku kata yang keempat, yang harus bertepatan pula dengan pemisahan kata.

c. Variasi adalah ciri khas puisi lisan; tidak ada wujud yang beku dan mantap; sastra lisan adalah sastra yang hidup, lincah, selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa dan penikmatnya.

7. Penelitian Modern tentang Sastra Rakyat di Indonesia: Fox, Sweeney

B

erdasarkan uraian di atas jelaslah kiranya mengapa penelitian sastra rakyat pun memerlukan kerangka teori yang kuat dan baik, sebab hanya dengan dasar teori yang kuatlah dapat menjawab pertanyaan dari bahan-bahan yang dikumpulkan. Banyak pertanyaan yang relevan mengenai struktur, variasi, resepsi, dan fungsi tidak terjawab, bahkan belum tertangani oleh para peneliti seperti Adriani, Van der Veen, dan Middelkoop, sebab mereka kurang kerangka dan minat teori tidak ada.

Penelitian terhadap sastra lisan di Melayu (Kelantan dan Trengganu) dilakukan oleh Amin Sweeney. Dia menyimpulkan bahwa tukang cerita Melayu sungguh-sungguh seorang profesional, yang membawakan ceritannya dengan lagu yang biasanya milik dia sendiri; setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu, masing-masing untuk cerita tertentu, dan selalu ada interaksi antara lagu dengan pemakaian bahasa.

Puisi Roti diteliti oleh Fox. Dia memakai cara dan struktur berbeda. Fox antara lai membicarakan jenis puisi yang disebut bini, puisi keagamaan tertetu; ciri khas puisi ini adalah pemakaian dyadic sets, pasangan kata yang wajib dipakai dan yang menunjukkan kesejajaran semantik tertentu. Misalnya, kata untuk kambing jantan berpasangan dengan kata ayam jantan, kata jenggot kambing jantan itu berpasangan dengan bulu ekor ayam jantan; matahari berpasangan dengan bulan, mata dengan hidung. Demikian juga dengan kara kerja dan kata sifat sering mempunyai pasangan tetap; dalam puisi bini selalu harus ada kesejajaran antara dua baris dalam arti bahwa setiap kalimat yang mengandung kata yang ada pasangannya harus diberi kalimat atau larik sejajar dengan memakai pasangan kata itu. Nama orang dan nama tempat pun seringkali mempunyai pasangannya.

Orang Roti juga memasukkan perbedaan dialek bahasanya dalam kosa dyadic sets tersebut, dan dengan demikian terciptalah semacam persatuan bahasa Roti sebagai alat komunikasi puisi, yang sering bersifat mitos, yang mengatasi keterpecah-belahan dialek dan sub-suku. Fox juga memperlihatkan bahwa puisi Roti tidak hanya berisi sebuah sistem klasifikasi kosa kata, yang mengarahkan daya ciptanya, tetapi sistem klasifikasi kosa kata mempunyai implikasi untuk struktur sosial dan konsepsi dunia orang Roti yang sangat menarik. Puisi adalah sarana atau pun ideologi yang mempersatukan masyarakat Roti. Puisi Roti adalah contoh yang sangat baik terhadap keterkaitan dan fungsi puisi dalam kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas; dan studi Fox berhasil mengungkapkan secara gilang-gemilang kekhasan struktur puisi Roti berkat kerangka teori yang dipakai, digabung dengan daya observasi yang sangat kuat dan halus. Hal ini memperlihatkan satu kasus lagi tentang bhineka tunggal ika: berdasarkan pola dasar yang sama berkembanglah kekayaan variasi yang masing-masing ada ciri khasnya.

8. Beberapa Kesimpulan Umum

K

esimpulan umum yang bisa diperoleh dari uraian tentang tempat penelitian sastra lisan dalam rangka teori sastra yang menyeluruh dan bersifat semiotik adalah

a. Masalah kesastraan dapat kita telusuri dengan sangat baik berdasarkan sastra lisan, dari bentuk yang paling sederhana seperti dalam cerita rakyat tertentu sampai yang sangat njlimet, dengan persyaratan puitik yang kompleks. Konsepsi mengenai apakah struktur karya sastra dapat kita cerahkan atas dasar hasil penelitian sastra rakyat. Khususnya hubungan antara konvensi sastra dan struktur sastra individual dapat kita jelasi lewat struktur puisi rakyat; hubungan ini sering sangat rumit sifatnya, seperti ternyata dari puisi guslar dan juga dari puisi Roti.

b. Tidak kurang pentinglah variasi sebagai aspek hakiki karya sastra; masalah-masalah tekstologi dari segi korupsi dan kreasi sering dalam penelitian sastra rakyat menjadi lebih jelas, juga dari segi fungsi variasi.

c. Proses penciptaan sastra, dan efek daya cipta seorang penggubah sastra rakyat dapat kita telusuri dari dekat. Cara dia memanfaatkan persediaan sarana bahasa dan konvensi sastra serta mempermainkan pembatasannya dapat kita perhatikan in situ.

d. Demikian pula dalam sastra lisan resepsi masyarakat dan pengaruh timbal balik antara penciptaan dan sambutan dapat diperhatikan dengan cukup intensif dan langsung; sebab sastra oral memang masih berfungsi sebagai sarana komunikasi langsung, tidak ditunda dan ditaklangsungkan oleh kemungkinan tulisan.

e. Fungsi sastra dalam masyarakat sering masih lebih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian ilmiah. Khususnya masalah hubungan antara fungsi estetik dan fungsi lain (agama, sosial) dalam variasi dan keragamannya dapat kita amati dari dekat dengan dominan tidaknya fungsi estetik; demikian pula kemungkinan perbedaan fungsi untuk golongan kemasyarakatan tertentu.

9. Beberapa Kesimpulan Khusus untuk Teori Sastra Indonesia

D

i samping aspek-aspek umum, perlu disampaikan kesimpulan khusus berkaitan dengan situasi sastra lisan dalam lingkungan sastra se-Indonesia:

a. Pertama-tama harus ditekankan bahwa baik dari segi sejarah maupun dari segi tipologi sastra tidak baik diadakan pembedaan antara sastra tulis dan sastra lisan. Justru persamaan hakiki dapat dilihat antara karya yang nampaknya jauh berbeda memerlukan perhatian dalam rangka satra Indonesia. Rasser telah menunjukkan tersebar luasnya motif Panji dalam sastra Indonesia, baik tulis dan bernilai sastra “tinggi” menurut pandangan tradisional, maupun lisan yang bersifat sederhana. Ini bukan satu-satunya contoh. Fox juga menunjukkan persamaan struktur antara cerita genealogik lisan di Roti dengan teks tulis seperti Sejarah Melayu, Pararaton, dan babad di Jawa dan Bali. Juga dalam hal cerita rakyat, misalnya cerita hewan kita melihat di Indonesia simbiosis, baik secara historik maupun tipologik, antara cerita rakyat Indonesia asli dengan sastra tulis dari India seperti Pancatantra. Singkatnya, sastra se-Indonesia dari berbagai segi harus dipandang sebagai satu kesatuan dan keseluruhan yang lebih baik jangan dipecahbelakan dulu, berdasarkan pertentangan yang tidak hakiki antara sastra tulis dan sastra lisan.

b. Aspek kedua yang perlu dikemukakan di sini adalah prinsip variasi sebagai prinsip sastra lisan, yang bukan tak ada relevansinya untuk sastra tulis di Indonesia. Dalam filologi Indonesia sudah lama diketahui orang bahwa tradisi penurunan naskah seringkali memperlihatkan variasi ynag sangat besar sekali, baik dari pemakaian bahasa maupun dari penambahan atau pengurangan anasir tertentu. Tekstologi sastra Indonesia dapat mengambil manfaat dari perbandingan dengan situasi sastra lisan, dan tidak hanya di bidang naskah saja: bahkan dalam tekstologi buku kita melihat gejala yang sama: penyunting, penyadur ataupun tukang set merasa bebas untuk menyesuaikan babonnya dengan perkembangan bahasa dan gaya sastra, keadaan politik dan lain-lain.

c. Dalam hubungan ini perlu juga disampaikan kaitan antara sastra lisan dan tulis dalam fungsi sastra sebagai performing art: sastra tulis pun berfungsi dalam situasi sosial yang disebut ramai ataupun guyub; karya sastra yang tertulis pun secara normal dibacakan bersama; dengan segala konsekuensi teknik, struktur, dan fungsinya. Penelitian sastra yang tidak memperhitungkan situasi ini mungkin sekali akan keliru dalam pemahanan sastra tulis yang baik. Partini Sardjono menunjukkan perubahan interpretasi sistem matra Jawa Kuno seperti diadakan dalam masyarakat kebudayaan Bali. Tapi interaksi ini tidak hanya penting dari segi matra dan lagu, dari segi fungsi sastra pembawaan dan pembacaannya sebagai performing art menjadikan perlu penggabungan aspek dan tulis dalam penelitian banyak ragam sastra di seluruh Indonesia. Tipe-tipe sastra naratif yang disajikan di sini tidak saling memustahilkan dan keragaman penyesuaian yang luas adalah mungkin antara A, B, dan C; cerita sastra tulis diceritakan kembali dalam wacana sehari-hari (B àA); cerita sastra itu pun disesuaikan dengan wujud lisan yang formal, misalnya cerita Panji tulis disajikan dalam wayang Jawa (B à C). Cerita dalam bentuk bergaya formal lisan dapat diceritakan kembali menjadi dalam bahasa sehari-hari (C àA) atau dipindahkan menjadi sastra tulis.

d. Akhirnya perlu diulang, sebagai kesimpulan yang penting, bahwa penggabungan sastra tulis dan sastra lisan dalam satu kerangka teori tidak hanya penting bagi sastra tradisional atau lama tetapi juga sastra Indonesia modern sebagai performing art. Banyak ragam tonil modern yang tidak diciptakan berdasarkan skrip, teks lengkap yang sebelumnya diselesaikan, tetapi sangat menonjolkan aspek improvisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Cavallaro, Dani. Critical and Cultural Theory. Teori kritis dan Teori Budaya. (Terjemahan: Laily Rahmawati). Yogyakarta: Niagara.

Santosa, Puji.1993.Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Linguistik Umum. (Penerjemah:Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gra
media.

-----------. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tidak ada komentar: